
PEMAKAIAN HURUF KAPITAL ATAU HURUF BESAR
Huruf kapital atau huruf besar dipakai:
1. Sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Misal:
- Dia terlihat sangat lelah.
- Di mana kau melihatnya?
2. Sebagai huruf pertama kata pada petikan langsung.
Misal:
- Bos mengatakan, “Kerja harus hati-hati.”
- “Hari ini tidak ada kesalahan,” harap Jhon.
3. Sebagai huruf pertama kata pada ungkapan yang berhubungan dengan nama atau kata ganti untuk Tuhan dan kitab suci.
Misal:
Allah, Alkitab, Alquran, Islam, Yang Mahakuasa, Yang Maha Pengasih, hamba-Nya, dll.
4. Sebagai huruf pertama pada nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Misal:
Sultan Mahmud Badaruddin, Nabi Muhammad, Imam Ghazali, dll
Catatan:
a. Huruf kapital boleh dipakai untuk menggantikan jabatan yang tidak diikuti nama orang, tapi merujuk orang tertentu atau sudah disebutkan sebelumnya.
Misal:
- Kami akan memberitahukan
Pimred bahwa kamus redaksi sudah rusak.
- Tadi Lurah telah menghadap Camat.
b. Huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama gelar, kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang:
Misal:
- Wong Plembang banyak yang bermimpi
menjadi sultan.
- Tahun ini ia pergi haji.
5. Sebagai huruf pertama pada unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misal:
a.Wali Kota Palembang, Eddy Santana Putra
b. Wali Kota Palembang (jabatan diikuti nama
tempat sebagai pengganti/merujuk nama orang)
c. Menteri Pendidikan Nasional (jabatan diikuti nama instansi sebagai pengganti/merujuk nama orang).
d. Mendiknas disambut Wako di ruang kerjanya.
NB: Huruf kapital tidak digunakan pada unsur nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti/bukan pengganti/tidak merujuk nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
a. Eddy Santana Putra, wali kota Palembang
(jabatan tidak diikuti nama tempat sebagai
pengganti/merujuk nama orang)
b. Eddy Santana adalah wali kota Palembang
(jabatan tidak diikuti nama tempat sebagai
pengganti/merujuk nama orang)
6. Sebagai huruf pertama unsur nama orang:
Misal:
Jhon Faradillah, Rudolf Diesel, Amir Hamzah, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis.
Misal mesin diesel, 10 volt, dll.
7. Sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Misal: bangsa Indonesia, suku Komering, bahasa Indonesia, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan (berimbuhan).
Misal: mengindonesiakan, keinggris-inggrisan.
8. Sebagai huruf pertama nama, tahun, bulan, hari, dan peristiwa sejarah:
Misal: bulan Maret, bulan Muharam, hari raya Nyepi, hari Jumat, perang Lima Hari Lima Malam, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.
Misal: Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsanya.
9. Sebagai huruf pertama nama geografi:
Misal: Asia Tenggara, Sungai Musi, Jalan Jenderal Sudirman, Selat Bangka, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama geografi yang tidak menjadi nama diri.
Misal:
berlayar ke teluk, mandi di sungai, pergi ke arah selatan, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misal:
garam inggris, gula jawa, pisang ambon, harimau sumatera, dll.
(nama produk ditulis huruf kapital: gudeg Jogja, pempek Palembang, batik Solo)
10. Sebagai huruf pertama kata pada semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misal:
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dll.
NB: huruf kapital tidak dipakai pada huruf pertama nama resmi negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misal: sesuai undang-undang yang berlaku, demi sebuah republik, dll.
11. Sebagai huruf pertama pada setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misal: Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
12. Sebagai huruf pertama pada semua kata (termasuk kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar (termasuk nama radio dan televisi), serta judul karangan (berita), kecuali kata depan (di, ke, pada, dll), kata penghubung (yang, untuk, dll), dan kata sandang (si dan sang).
Misal: surat kabar Sumatera Ekspres, buku Robohnya Surau Kami, radio Sonora.
13. Sebagai huruf pertama pada unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan:
Dr., S.Pd., Prof, dll. (Kebijakan redaksi tanda titik tidak dipakai)
14. Sebagai huruf pertama pada kata penunjuk hubungan kekerabatan yang berfungsi sebagai sapaan atau acuan:
“Kapan Bapak pulang?” tanya Mario.
Mas Karsono pergi ke rumah Pak Pimred.
Wartawan mengunjungi Ibu Warni.
15. Sebagai huruf pertama kata ganti Anda:
Sudahkan Anda mengerti?
PEMAKAIAN HURUF MIRING
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar (media massa) yang dikutip.
Misal: majalah Playboy, surat kabar Sumatera Ekspres, radio Sonora, dll.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
Misal:
(1) Anak itu bernama Edi Purnomo.
(2) Wartawan tidak boleh menerima/meminta apa
pun dari narasumber.
(3) Huruf pertama kata redaksi adalah s.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah, ungkapan asing, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Misal:
(1) Nama latin ganja adalah Canabis sativa.
(2) Politik devide et impera pernah menguasai
negeri ini.
PEMAKAIAN TANDA BACA
A. Tanda Titik (.) (khusus kebijakan redaksi)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang
bukan pertanyaan atau seruan.
Misal: - Ayahnya tinggal di Tulung Selapan.
2. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka
jam, menit, detik yang menunjukkan waktu.
Misal: 1.30.20 jam (baca: 1 jam, 30 menit,
20 detik)
3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan
bilangan ribuan dan kelipatannya.
Misal: Desa itu berpenduduk 24.250 orang.
4. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan
bilangan ribuan dan kelipatannya
yang tidak menunjukkan jumlah.
Misal: tahun 2007, lihat halaman 2100, nomor absen 39, ultah ke-1340.
5. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul
karangan, berita, atau ilustrasi, tabel,dll.
Misal: Desa itu berpenduduk 24.250 orang.
6. Tanda titik tidak dipakai di belakang
tanggal, alamat pengirim dan penerima surat.
Misal: Marta, Jalan Surga Gang Neraka No
1991 Palembang
B. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur
dalam suatu rincian.
Misal: Saya membeli gula, kopi, dan rokok.
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak
kalimat dengan induk kalimat jika
anak kalimat mendahului induk kalimat.
Misal: Kalau hujan, ia pasti terlambat.
3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak
kalimat setara yang didahului kata
Penghubung seperti, maka, melainkan, dll.
Misal: Ia pasti kembali, tapi hari sudah
malam.
4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau
ungkapan penghubung antarkalimat,
seperti oleh karena itu, jadi, lagi pula,
dengan demikian, dll.
Misal: ….Oleh karena itu, Rahmad Darmawan
mengubah strategi permainan SFC.
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan
langsung dalam kalimat.
Misal: Kata Rappi Darmawan, “Dandi itu lucu
sekali.”
6. Tanda koma dipakai di antara nama, alamat,
tempat, tanggal, tempat, atau wilayah.
Misal: Graha Pena Sumatera Ekspres, Jl. Kol.
H. Barlian, Km 6,5, Palembang
(tanda titik pada singkatan tidak
dipakai oleh redaksi)
7. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan
tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misal: Arsitek SFC, Rahmad Darmawan, teliti
sekali.
8. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan
petikan langsung di bagian
belakangnya berakhir dengan tanda Tanya atau
tanda seru.
Misal: - “Apakah Anda mengerti?” tanya
Helen.
- “Cepat sedikit beritanya!” pinta Cak Mahmud.
C. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan
bagian-bagian kalimat sejenis atau
setara.
Misal: Malam makin larut; koran belum
dicetak juga.
2. Tanda titik koma boleh dipakai untuk
memisahkan kalimat setara dengan kalimat
majemuk.
Misal: Siswa gemar membaca koran; guru
asyik ngobrol di kantor.
D. Tanda Titik Dua (:)
1. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir
pernyataan lengkap jika diikuti pemerian
(rincian) atau rangkaian.
Misal:
- Kita memerlukan fasilitas kerja: meja,
kursi, komputer, dan alat tulis.
- Hanya ada dua pilihan bagi wartawan
melakukan tugas jurnalistiknya:
mau atau tidak.
2. Tanda titik dua tidak dipakai jika pemerian
(rincian) atau rangkaian merupakan
pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
Misal: Kita memerlukan meja, kursi,
komputer, dan alat tulis.
3. Tanda titik dua dapat dipakai sesudah kata
atau ungkapan yang memerlukan
Pemerian.
Misal:
Ketua : Jhon Faradillah
Sekretaris : Burmansyah
4. Tanda titik dua dipakai pada teks drama
atau dialog yang menunjukan pelaku
percakapan.
Misal:
Helen:(Memegang hidung) “Mana beritanya?”
Novis: “Masih diketik, sebentar ya.
Merokok saja dulu.”
5. Tanda titik dua dipakai di antara (1) jilid atau nomor halaman, (2) judul dan subjudul dalam karangan (berita), (3) surat dan ayat dalam kitab suci, (4) nama kota dan penerbit acuan dalam karangan.
Misal:
- Sumatera Ekspres, 23/3/2007: 8
- Surat Yasin: 9
- Buku ini berjudul Sejarah dan Peranan
SUBKOSS: Dalam Perjuangan Rakyat
Sumatera Selatan.
-Sugiharto, Bambang. 2004.
Postmodernisme: Tantangan bagi
Filsafat. Jogjakarta: Kanisius.
E. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar
yang terpisah oleh pergantian
Baris.
Misal: Beberapa pendapat yang ada ber-
tujuan mengklarifikasi masalah ini.
2. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata
ulang.
Misal: anak-anak, berulang-ulang, kemerah-
merahan, dll.
3. Tanda hubung menyambung huruf kata yang
dieja dan bagian-bagian tanggal.
Misal: r-e-d-a-k-s-i, 24-3-2007, dll.
4. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas
hubungan-hubungan bagian kata atau ungkapan
dan penghilangan kelompok kata.
Misal: ber-evolusi, dua puluh lima-ribuan,
tanggung jawab dan kesetiakawanan-
sosial, dll.
5. Tanda hubung dipakai untuk menerangkan (i)
se- dengan kata diawali huruf kapital,
(ii) ke-dengan angka, (iii) angka dengan –
an, (iv) singkatan huruf kapital atau kata
dengan imbuhan, (v) nama jabatan rangkap.
Misal: se-Indonesia, hadiah ke-2, tahun
2000-an, mem-PHK-kan, di-Cipinang-
kan, sinar-x, Menteri-Sekretaris
Negara, dll.
6. Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur
bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Misal: di-reshuffle, pen-tackle-an, dll.
F. Tanda Pisah (—)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau
kalimat, bahkan keterangan lain yang
memperjelas makna kalimat.
Misal: Beberapa dugaan—pesawat Garuda
Boeing 737-400 yang terbakar bukan
sembarang kecelakaan—mewarnai
insiden itu, salah satunya
terindikasi adanya pilot error.
2. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan
atau tanggal yang berarti “sampai”.
Misal: 1945—2007, tanggal 5—29 Maret 2007,
Palembang—Jakarta, dll.
G. Tanda Elipsis (…)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang
terputus-putus.
Misal: - Kalau begitu…ya, mari kita pergi.
- Sebab-sebab kerusuhan…akan
diselidiki oleh pihak kepolisian.
H. Tanda Tanya (?) (cukup jelas)
I. Tanda seru (!) (cukup jelas)
J. Tanda Kurung ( (…) )
1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan
atau penjelasan.
Misal: Bagian umum sudah selesai menyusun DIK
(daftar isian kegiatan) kantor itu.
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau
penjelasan yang bukan integral pokok
pembicaraan.
Misal: Relokasi kawasan lokalisasi Teratai
Putih (lihat Sumatera Ekspres, Selasa,
6/3/2006) perlu pertimbangan secara
matang.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang
kehadirannya di dalam teks dapat
dihilangkan.
Misal: Wali Kota Ir Eddy Santana Putra
mengharapkan (Kota) Palembang bisa
menerima Piala Adipura.
4. Tanda kurung mengapit anka atau huruf yang
merinci satu urutan keterangan.
Misal: Tanda titik dua dipakai di antara (1)
jilid atau nomor halaman, (2) judul
dan subjudul dalam karangan (berita),
(3) surat dan ayat dalam kitab suci,
(4) nama kota dan penerbit acuan
dalam karangan.
K. Tanda Kurung Siku ( […] )
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata,
atau kelompok kata sebagai koreksi atau
tambahan pada kalimat yang ditulis orang
lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan
atau kekurangan itu memang terdapat di
dalam naskah asli.
Misal: Adik men[d]engar suara gemerisik.
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam
kalimat penjelasan yang sudah
bertanada kurung.
Misal: Persamaan keduanya (perbedaannya
[lihat halaman 9] tidak dibahas)
perlu diperhatikan dengan seksama.
L. Tanda Petik ( “…” )
1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang
berasal dari pembicaraan naskah atau
sumber tertentu.
Misal: - “Saya belum siap,” kata Mira.
- Pasal 36 UUD 1945 berbunyi, “
Bahasa Negara ialah bahasa
Indonesia.”
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan
(berita), atau bab dalam kalimat.
Misal: - Berita “Diknas Dinilai Kurang
Sosialisasi” dimuat dalam Sumatera
Ekspres, Sabtu, 24 Maret 2007
halaman 22.
3. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca
(titik) yang mengakhiri kutipan langsung.
Misal: Kata Tono, “Saya belum pernah ke
sana.”
4. Tanda petik yang mengapit kalimat diikuti
tanda baca lainnya.
Misal: Rappi Darmawan sering disebut “Pak
Camat” oleh rekan sekerjanya.
5. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang
kurang dikenal atau kata yang mempunyai
arti khusus.
Misal: Ia suka model rambut gimbal yang
sering disebut “relograsta”.
M. Tanda Petik Tunggal ( ‘…’ )
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang
tersusun dalam petikan lain.
Misal: “Kau dengar suara ‘kring-kring’
barusan?” tanya Budi.
2. Tanda petik tunggal mengapit makna,
terjemahan, atau penjelasan kata ungkapan
asing.
Misal: Feed-back ‘balikkan’.
N. Tanda Garis Miring (/)
1. Tanda garis miring dipakai dalam nomor
surat atau dokumen resmi dan penandaan
tahun.
Misal: Surat No. 7/PK/2007, Jalan Keramat
II/10, tahun ajaran 2007/2008, dll.
2. Tanda garis miring dipakai sebagai
pengganti kata dan, atau, juga tiap (per).
Misal: siswa/siswi, Rp 1.000/kg, dll.
O. Tanda Penyingkat atau Apostrof (’)
Tanda apostrof menunjukkan penghilangan kata
atau bagian angka tahun.
Misal:
- Ali ’kan pergi. (’kan =akan).
- Malam ’lah tiba. (’lah =telah)
- 24 Maret ’07 (’07=2007)
ANGKA DAN LAMBANG BILANGAN
1. Angka
Latin : 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
Romawi : I,II,III,IV,V,VI,VII,VIII,IX,X,
L(50),C(100),D(500),M(1.000), V(5.000)
2. Angka digunakan untuk menyatakan ukuran, waktu, nilai, dan kuantitas:
10 cm, 5 kilogram, 40 ha (hektare), Rp1.000,-, 500 rupiah, US$ 50, 100 dolar Singapura, 10 persen, 100%, 1 jam 20 menit, pukul 15.00, tahun 2007, dll.
3. Lambang bilangan, di antaranya 12 (dua belas), ½ (setengah), ¾ (tiga perempat), bab II/bab ke-2/bab kedua, tahun 90-an (sembilan puluhan), uang 500-an (lima ratusan), dll.
4. Angka dan lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf:
Tiga ratus ekor unggas divaksin guna memberantas penyakit flu burung.
bukan
300 ekor unggas divaksin guna memberantas penyakit flu burung
5. Angka dan lambang bilangan yang menunjukkan urutan ditulis angka:
Sebanyak 300 unggas yang terdiri dari 50 ekor ayam, 50 ekor itik, 75 ekor burung, dan 25 ekor angsa divaksin guna memberantas penyakit flu burung.
GABUNGAN KATA
1. Gabungan Kata Ditulis Serangkai:
Percetakan, dikelola, menggarisbawahi, pertanggungjawaban, adipati, aeromodeling, antarkota, anumerta, audiogram, bikarbonat, biokimia, caturwarga, dekameter, dwiwarna, demoralisasi, mahasiswa, mancanegara, narapidana, nonkolaborasi, pancasila, paripurna, poligami, pramuniaga, pracetak, purnawirawan, rekonstruksi, acapkali, adakalanya, alhamdulillah, bagaimana, belasungkawa, bilamana, bismillah, bumiputra, daripada, darmabakti, darmawisata, dukacita, halalbihalal, hulubalang, kacamata, olahraga, manakala, mangkubumi, matahari, olahraga, padahal, radioaktif, saptamarga, saputangan, saripati, sediakala, sebagaimana, silaturahmi, sukacita, sukarela, tunanetra, kepada, kilometer, syahbandar, wasalam, me-manage, di-smash, mem-PHK-kan, dll.
2. Gabungan Kata Ditulis Terpisah:
Bertanggung jawab, bertepuk tangan, garis bawahi, menganak sungai, sebar luaskan, ibu kota, wali kota, orang tua, dll.
3. Partikel “Pun” Ditulis Serangkai:
Adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, maupun, meskipun, sekalipun (perbandingan), sungguhpun, walaupun, dll.
4. Partikel “Pun” Ditulis Terpisah:
Ke mana pun, apa pun, di mana pun, siapa pun, dia pun, dll.
PEMENGGALAN KATA
I. Pemenggalan kata dasar
1. Jika di tengah kata ada vokal (a,i,u,e,o) yang berurutan, maka pemenggalan dilakukan di antara kedua vokal itu. Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah, dll.
2. Huruf diftong (ai, au, oi) tidak pernah diceraikan sehingga pemenggalannya tidak pada kedua huruf itu. Misal: au-la bukan a-u-la, sau-da-ra bukan sa-u-da-ra, dll.
3. Jika di tengah kata ada huruf konsonan (huruf selain a,i,u,e,o) termasuk juga gabungan konsonan, maka pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan. Misal: ba-pak, mu-ta-khir, su-lit, de-ngan, ke-nang, dll.
4. Jika di tengah kata ada konsonan yang berurutan, maka pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Misal: ce-plok, pra-ce-tak, Ap-ril, dll.
5. Jika di tengah kata ada tiga huruf konsonan atau lebih, maka pemenggalan dilakukan di antara konsonan pertama dan kedua. Misal: in-struk-si, a-van-tra, ikh-las, dll.
II. Pemenggalan kata berimbuhan
1. Imbuhan awalan dan akhiran mengalami perubahan bentuk dan partikel serangkai dengan kata dasarnya pada pergantian baris. Misal: per-ce-tak-an, kem-ba-li-kan, mem-ban-tu, per-gi-lah, dll.
2. Bentuk kata dasar sedapat-dapatnya jangan dipenggal. Akhiran –i tidak dipenggal (ikut-i, salah). Pemenggalan pada kata bersisipan misalnya: te-lun-juk, si-nam-bung, ge-me-tar, dll.
III. Pemenggalan kata dan unsur kata
Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsure, maka pemneggalan kata dapat dilakukan di antara kedua unsur tersebut atau dengan kaidah I dan II. Misal: foto-grafer atau fo-to-gra-fer, kilo-meter atau ki-lo-me-ter, intro-speksi atau in-tro-spek-si, dll.
Rabu
Ejaan yang Disempurnakan
Diposting oleh muhammadazhari di 09.36 0 komentar
Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia

KELAS KATA DALAM BAHASA INDONESIA
A. Kelas Kata 1-10 Ditulis dengan Huruf Kapital pada Judul.
1. Kata Benda (Nomina):
Orang: bapak, ibu, adik, kakak, mertua, Andi, dll.
Binatang: itik, ikan, kuda, sapi, dll.
Terhitung: rumah, kursi, meja, dll.
Tak Terhitung: gula, uang, air, udara, dll.
Nama Diri: Sumatera Selatan, Jhon Faradillah, Pepsodent, dll.
2. Kata Ganti (Pronomina):
aku, saya, kami, kita, engkau, kamu, Anda, kalian, dia, -nya, mendiang, almarhum, dll.
3. Kata Kerja (Verba):
pulang, pergi, belajar, menginterogasi, diwawancarai, keluar, merokok, salat, dll.
4. Kata Sifat (Adjektiva)
bagus, sedih, indah, elok, jauh, baik, manis, malas, rajin, angkuh, sombong, dll.
5 Kata Sapaan:
Pak, Kak, Bu, Mas, Dik, Saudara, Anda, dll.
6. Kata Petunjuk: ini, itu
7. Kata Bilangan (Numeralia):
dua, sebelas, tiga puluh lima, seperempat, dll.
8. Kata Seru:
ayo, mari, awas, dll.
9. Kata Tanya (Interogativa):
apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, di mana, ke mana, berapa, dll.
10. Kata Keterangan (Adverbia):
memang, pasti, tentu, barangkali, mungkin, kiranya, rasanya, agaknya, semoga, hendaknya, sering, sesekali, sudah, belum, telah, sedang, tengah, lagi, baru, masih, pernah, sempat, ingin, sangat, cukup, amat, paling, lebih, kurang, banyak, semua, seluruh, segala, beberapa, mesti, harus, sejumlah, setiap, beberapa, sebagian, separuh, kira-kira, para, kaum, umat, akan (bepergian), hanya/cuma, dll.
B. Kelas kata 11 hingga 14 ditulis dengan huruf kecil pada judul
11. Kata Sandang:
si, sang, hang, dll.
12. Kata Depan (Preposisi):
di, pada, dalam, atas, antara, dari, daripada, ke, kepada, terhadap, pada, dalam, atas (persoalan), antara, dari, tentang, mengenai, sampai, hingga, untuk, buat, bagi, guna, demi, berkat, menurut, akan (dirinya) dll.
13. Kata Penghubung (Konjungsi):
dan, dengan, serta, atau, tetapi, namun, sedangkan, tapi, sementara, sebaliknya, malah, bahkan, lagipula, apalagi, itupun, jangankan, melainkan, (ia mengatakan) hanya (dia yang selamat), kecuali, lalu, kemudian, mula-mula, yakni, yaitu, adalah, ialah, bahwa, jadi (syarat), karena, karena itu, sebab, sebab itu, walau, walaupun, meski, meskipun, supaya, agar, ketika, saat, sesudah, sebelum, setelah, sejak, untuk, guna, yang, sampai, hingga, sambil, seperti, ibarat, laksana, sekitar, selama, sepanjang, andaikata, dll.
14. Partikel: kah, lah, tah, pun, per
Diposting oleh muhammadazhari di 09.34 0 komentar
Minggu
Reportase Merdekawati
Reportase Merdekawati
Muhammad Azhari
Seandainya Jeng hanya mengutak-atik berita dari internet—tanpa wawancara langsung ke lokasi syuting film atau iklan—selama menjadi jurnalis entertainment di sebuah redaksi televisi atau koran, maka jangan pernah berharap menerima karangan bunga dari aktor pujaan. Seperti halnya Merdekawati, seorang wartawati—makhluk Tuhan yang serba (ingin) tahu. Akan tetapi, stereotip yang dimiliki jurnalis perempuan itu belum tentu bisa langsung mengenali karakter tokoh lelaki yang dicari. Toh, tidak ada seragam khusus—seperti gagasan KPK menciptakan efek jera bagi para koruptor—untuk menandai laki-laki pujaannya itu perjaka, duda, atau “berkelamin ganda”. Dengan kata lain, sedalam-dalamnya peristiwa, gosip, atau gunjingan di seluruh muka bumi masih bisa diketahui oleh Merdekawati, tapi telaga hati laki-laki tentu tak mudah dia pahami. Itu dikatakan Merdekawati sendiri saat menerima kiriman puisi*) padanya—tak peduli dimuat atau tidak—di redaksi tempatnya bekerja: yang saya titipkan
*)Perempuan pada Jendela
dalam Lukisan Kemerdekaan
Dengan kutang merah, kebaya putih
ia mengajak kelaminku berdiri, bergerak
masuk ke dalam jendela sajak-sajak
ia kiblatkan wajah, payudara, serta
kemaluannya menghadap sejarah
yang kuterjemahkan dari bangku sekolah
“Kita belum merdeka, Cucuku. Selagi perang
abadi dalam kata-katamu”, saat revolusi
hingga reformasi, “Lukisan darah dan air mata
bagai lampu peron stasiun kereta penghabisan”
Menembus dinding rahim ibu pertiwi
ia menatap sungguh hari ini
lebih kekal dari kemarin atau nanti, karena
waktu telah berhenti
memerkosa harga diri
Barangkali membaca puisi itu lebih njelimet bila dibandingkan ikut kontes Puteri Indonesia atau Miss Universe. Merdekawati dulu juga pernah jadi ratu kecantikan lho. Niatnya cuma setahun menunda pernikahan demi karier itu, ternyata malah bertahun-tahun. Karena selalu terpilih jadi ratu, Merdekawati kekeuh memangku mahkota yang diidam-idamkan oleh kaum hawa itu. Oleh karenanya, safety kehamilan juga jadi prioritas dong. Mana mungkin kan saat mendampingi tamu kenegaraan perut sang Ratu membesar. Ternyata, Merdekawati cukup peduli dengan umur. Satu dekade jadi ratu kecantikan, kemungkinan sepuluh tahun tak kunjung “didatangi” laki-laki. Maka dari itu, Merdekawati beralih profesi.
Berkenaan dengan itu, profesi apa pun yang digeluti Merdekawati masih belum berhasil mengundang laki-laki untuk melepaskan panah asmara ke hatinya. Impian tidur di ranjang mawar bersama suami, bermandikan cahaya bulan, kerlip bintang, dan dibelai angin malam, seakan pupus saat menyadari usia lebih berat dari tubuhnya. Namun, Merdekawati tidak akan pernah mau hidup terjajah dalam dunia merah jambu.
Pada akhirnya, reportase 5W+1H tanpa sengaja menuntun Merdekawati mampu menjawab pertanyaan hati kecilnya itu, mencapai puncak perjuangan setelah menemukan “soulmate” yang hakiki:
+ Apa kata dunia bila tak punya cinta?
- Belum merdeka.
+ Di mana harus mencari cinta?
- Di darat, laut, dan udara.
+ Kapan saatnya membutuhkan cinta?
- Sebelum, saat, dan setelah kemerdekaan
+ Kenapa mesti ada cinta?
- Supaya tidak terjajah.
+ Bagaimana menjaga cinta?
- Menghargai para pahlawannya.
Persoalan cinta Merdekawati memang tergolong unik. Bahkan, lebih menarik daripada kisah Matahari—boleh dibilang sebagai hipogram (latar penciptaan) untuk merayakan kemerdekaan ala clubbers di kafe-kafe, diskotek, pub, atau night club. Konon kabarnya, Matahari (Margaretha Geertruida Zelle) dilahirkan pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden, putri seorang pengusaha Belanda yang beristrikan seorang perempuan Jawa. Setelah gagal menjadi guru dan juga kehancuran pernikahannya dengan dua orang anak, ia pindah ke Paris dan menjadi seorang penari profesional dengan gerakan eksotik (striptease) seperti seorang putri Jawa. Namanya pun diganti dengan nama Jawa, yaitu Matahari.
Pada masa Perang Dunia (PD) I, Matahari pernah “tidur” dengan banyak perwira Prancis maupun Jerman hingga menjadi sebuah skandal internasional. Pada tahun 1917, Matahari diadili di Prancis sebagai mata-mata ganda (spionase) untuk Prancis dan Jerman yang menyebabkan ribuan pasukan kedua belah pihak tewas. Matahari dinyatakan bersalah lalu dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak pada 15 oktober 1917. Para sejarawan kemudian menyatakan tidak ada bukti sama sekali bahwa Matahari adalah seorang mata-mata. Diyakini, penyebab tuduhan itu sebenarnya hanyalah akibat rasa cemburu dari seorang jendral Prancis terhadap Matahari.
Selain Matahari—Merdekawati tidak masuk hitungan—masih banyak lagi perempuan yang mampu “menggetarkan” dunia. Adapun di antaranya, Kanselir Jerman Angela Merkel atau Hillary Clinton yang tengah berlomba dengan kandidat pria di kubu demokrat menuju ke Gedung Putih. Selain itu, siapa tidak mengenal Benazir Buttho yang hingga ajalnya terus mendobrak sistem politik di Pakistan yang didominasi laki-laki.
Sementara, di Indonesia ada Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini, dan Herlina, perempuan penerjun di pembebasan Irian Barat (sekarang Papua). Akan tetapi, citra perempuan Indonesia pernah tersingkirkan pada masa Orde Baru, di mana kabar burung tentang Gerwani dengan lukisan gambar di Lubang Buaya seakan-akan menjadikan ilustrasi sejarah bahwa perempuanlah yang menghabisi keenam jenderal itu.
Dari analogi yang begitu kompleks, antara seks dan kekuasaan; antara cinta dan pekerjaan, seyogianya menjadi renungan suci bangsa ini di Hari Kemerdekaan. Karena, cinta adalah kemerdekaan manusia mencari kehidupannya.Dan, perempuan kadang lebih merdeka menentukan cinta sejatinya.
Fantastis, berapa puluh brankas atau loker di meja redaksi Merdekawati penuh dengan transkrip atau paper yang menyimpan “dunia perempuan”. Berbagai gelar para Srikandi ada di sana, mulai dari diploma, sarjana, master, hingga doktor mengirimkan artikel dan/atau kontak jodoh. Ruang-ruang kosong di perkantoran, apartemen, kondominium, hingga lokalisasi sekalipun, senantiasa disejukkan oleh aura kewanitaan yang tidak hanya mengepentingkan pikiran, tapi juga perasaan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Namun, argumen macam apa yang patut dipresentasikan pada jurnal ilmiah, blog atau disertasi tentang hak dan kewajiban perempuan masa kini. Apalagi menyangkut isu gender yang mengultuskan bahwa perempuanlah yang melahirkan cinta. Entah, polemik cinta harus menjadikan eksistensi perempuan seperti Merdekawati suntuk dalam kariernya hingga menyerupai “rumah kaca” dengan gembok baja. Sehingga, pada waktu yang tepat kuncinya harus dibuka sendiri. Yang perlu dicatat, kemerdekaan bukan hanya diperjuangkan oleh pahlawan, tapi andil perempuan juga sangat menentukan peradaban suatu bangsa.Merdeka!(*)
Label: Reportase Merdekawati
Diposting oleh muhammadazhari di 10.46 0 komentar
Antologi Puisi
LELAKI dari HUTAN AKASIA
Muhammad Azhari
Lelaki dari Hutan Akasia
Keringatnya tumbuh di sela-sela embun
dalam rimbun kalimat penuh abjad bersusun
menjadi sosok lelaki pada lingkaran kambium.
Mimpinya di pucuk Akasia. Meresapi kenyataan
dari tanah perguruan. Hutan akan menukar
siangnya dengan pohon rindang, lalu
ia sandarkan cita-cita kayu
menjadi kertas,
kertas menjadi buku.
Cintanya pada daun. Merekah kesunyian
dari pustaka perawan. Hutan akan meneduhkan
kemarau dengan gerimis, lalu
ia tumbangkan benalu
menjadi humus,
humus menjadi kamus
menjadi kehidupan
Pasang Tarif
tanah,
air,
api,
angin
indah karena cahaya
surga
neraka
banting
harga
Perempuan pada Jendela
dalam Lukisan Kemerdekaan
Dengan kutang merah, kebaya putih
ia mengajak kelaminku berdiri, bergerak
masuk ke dalam jendela sajak-sajak
ia kiblatkan wajah, payudara, serta
kemaluannya menghadap sejarah
yang kuterjemahkan dari bangku sekolah
“Kita belum merdeka, Cucuku. Selagi perang
abadi dalam kata-katamu”, saat revolusi
hingga reformasi, “Lukisan darah dan air mata
bagai lampu peron stasiun kereta penghabisan”
Menembus dinding rahim ibu pertiwi
ia menatap sungguh hari ini
lebih kekal dari kemarin atau nanti, karena
waktu telah berhenti
memperkosa harga diri
Salesman
Kita telah mengukur jalan itu
dengan dasi dan tali sepatu
lebih panjang:
dari garis bujur lintang
door to door,
Kita telah menyeret koper hitam
berisi kejayaan nusantara silam
lebih berat:
dari perut bankir dan birokrat
dor dor dor
Perempuan Tua Penggiring Unggas
Pernah kau buka hikayat desa: lembar demi lembar
sebagai buku yang kubaca tiap pagi. Getar
kata serta titik koma adalah
suara lirih itik jawa
yang kau giring menuju hari tua: napasmu
beralas kertas jiwa yang putih.
Ketika anak kecil pun menari
dalam dendang pneumonia
dalam nada getir irama kematian
Pernah kau sebut-sebut nama suamimu
menitip salam pada kawanan unggas
Jadikan mainan anak kecil. Bukan
jadi bencana negeri ini, lalu dimusnahkan
perempuan tua yang kehilangan: warisan
Bening Candi dalam Sebotol Kendi
ukiran hidup petani,
pedagang, serta
nelayan kecil
pada botol kendi
penuh relief bugil
ada surga di desa terpencil
kami datang saat harimu siang
melahap budaya masa lalu
mereguk keindahan hari ini
menatap masa depanmu
Keroncong Malioboro di E Minor
tinggal sepasang mata bola untuk memandang
Jogja senjakala. Lewat keroncong revolusi,
bergerak penuh dupa yang menyelimuti diri
saat matahari terinjak ayun langkah kaki
saat tawar pedagang serta kusir dokar
mulai akrab mengalun di sepanjang jalan
Malioboro
purbamu sudah lama kupetik di E minor
dari dawai-dawai biola, suara tenor,
serta sinar gitar para pemusik jalanan
dekil dan kotor bercampur sajak-sajak penyair cekak.
tampak
lebih merdu dari rock n’roll
lebih suci dari tahi kuda tempatmu berpijak
Tumpah Minyak di Selat Sunda
adalah minyak yang bergelut
pada ombak dan riak laut
menjadi sebuah lukisan anak
di antara dua pulau, Astaga!
di lautan minyak berhamburan
tumpah jadi pokok pencemaran
sedang di daratan minyak tertimbun
dengan harga menjimbun
dua kali dalam setahun.
Sinuhun mesti turun
berenanglah ke Samudera
berjalan kaki sajalah di Nusantara
menyaksikan kesedihan:
tangis seorang Mamak
adalah harga seliter minyak
Lebaran Tak Lewat Depan Rumah Kami
Hanya pada rimbun mimpi
Menebar harapan ini hari
dari rumah yang beratap daun,
beralas jerami,
dan dinding pohonan. Menanti
anak, cucu, serta famili
Datang ke pangkuan kami
Petaka itu terjadi
Hanya pada tambun hati
Menatap dalam wajah pagi
lewat pesan jalan setapak,
penuh bercak,
dan corak kesedihan. Meratapi
anak, cucu, serta famili
pulang ke hadapan Illahi
Lebaran tak lewat depan
rumah kami
Cup
Tutup tahun Seudati purba bencana tak terelakkan lagi
Dan bumi berguncang. Menghempaskan gelombang
:menerjang luka Serambi Mekkah
Cup Cup Cup jangan menangis
Cup Cup Cup cepatlah gadis, Inong
Usiamu belum seratus hari
Cup Cup Cup kasihan
Bayiku harus menyusu lautan, diasuh ombak,
dan dininabobokan arus yang beringas
Cup Cup Cup jangan menangis
Cup Cup Cup cepatlah gadis, Inong
kunanti lahirmu kembali
Membersihkan tanah Seudati
Berita di Ujung Barat
Minggu pagi durhaka pada ibu pertiwi
: tak kabarkan matahari
akan terbit di ujung barat negeri
Mungkin Nuh terlahir kembali
: membawa berita abad ini
Perahunya telah karam berjuta tahun silam
Sementara anak istrinya mati tenggelam
“Ibu lupa menyambut datangmu, wahai Nuh!”
Hanya tarian bumi yang bergemuruh
dan ombak nan riuh. Mengajakmu berlabuh
: membaca berita Minggu
Masa
Tuhan tenggelam di laut dalam
hati nelayan resah karena
getah basah pada perahu yang dibawanya
ketakutan tak dapat ikan
untuk makan siang nanti bersama anak istri.
Kesusahan. Berdoa nelayan,
“Tuhan. Ambilkan seekor saja ikan”
“Bulan haji pasti kurban kambing jantan”
(jala bergerak perlahan)
Kesenangan. Nelayan lupa daratan
telah menipu Tuhan
“Masa, Cuma dapat satu ikan
harus kurban kambing jantan?”
(perahu karam perlahan)
nelayan pun tenggelam
Keluarga Uluwatu
Anak tangga yang mengantar mereka turun
berduyun diayun angin menuju surfing camp,
Anakku.
Anak yang membawakan bapaknya ibu baru
Anak yang membimbingku masuk
ke dalam potret gerimis, bergandengan karang,
dan kerang laut bergoyang tanpa ritmis
pada manis wajah gadis Maroko, Anakku
Dinding pantai karang dengan dua gadis pirang
telanjang bersama selancar anakku
adalah kebanggaan yang terukir di atas pasir
walau kadang harus terhapus air
anakku takkan pernah menangis
karena sudah terbiasa dirinya bergelut
dengan ombak dan riak laut
Anak yang menjadi tumpuan hidupku
bagai anak tangga menuju pantai karang Uluwatu
Malam Pencoblosan
air muka mereka mengalir dalam remang
lampu jalan di antara tiang, slogan-slogan,
serta gambar angin yang berhembus di musim kawin
menuju kamar bagai pengantin
bukan suami istri bertemu
karena Rahwana menunjuk bayang Shinta
pada etalase meja kasir,
lalu mencoblosnya dalam cangkir
hingga tumpahlah harapan
tak lahir anak haram
Patung Pengantin
sepasang pengantin
berpelukan
mendekap tak saling lepas
selamanya
patung kayu, patung pengantin
patung para pematung yang baru kawin
kepada istri-istrinya
kepada malam pertamanya
malamnya pengantin
suara-suara tetabuhan tamborin
yang dimainkan anak kecil
meriuhkan dansa para pengantin
pada ranjang
pada siluet malam panjang
malamnya pengantin
patung kayu, patung pengantin
dikawinkan anak kecil
Mahal Tanahku, Mahal Airku
Kemarau tumbuh pada musim kumuh
menukar beras dengan bubur kertas
merebus parit
untuk seribu tahun kemerdekaan
mahal tanahku, mahal airku
hidup tanpa
hidup tanpa air bersih
awas sampai tanah airku tergadai
Sajak Panjat
kau tahu dalam sajakku
ada sebatang pinang menjulang harapan
jiwa kita yang kerdil
terhadap merah putih
di pucuk hari proklamasi
kita hanya pemburu arloji, kaus oblong,
payung, serta kelontong
sekarang perang pakai uang
bukan bambu runcing atau kelewang
panjatkanlah rupiah agar tidak terjajah
Wajah-Wajah
betapa tidak
jalan penuh kekecewaan melingkari Singkarak
yang riak dengan sorak air
yang tenang mengalir disapa sapu angin semilir
saat matahari timbul tenggelam
bagai lampu blitz kamera nyala padam
tak bisa belai wajah danau
karena masih saja engkau
berkerumun dengan rumpun sepi
di antara muka-muka letih ini
Sakaratul
Bila maut datang di pelataran ubun,
maka baringkan kepala yang mendongak
pada wajah termangu menopang dagu
bisikan angin yang membatu pada buta
memutih awan kelabu yang murka diraut pelangi
dalam segelincir matahari
berkaca gerimis dalam renyai hujan air mata
Rumus Mabuk Seorang Einstein
E=mc2(*)
orang bodoh pun mengerti
orang bodoh bisa jadi hebat
orang bodoh sanggup berkata
E=mc2(*)
tanpa doping ganja kering
tanpa efek samping alkohol
tanpa banyak komentar
E=mc2(*)
Einstein yang menyebutkan
E=BBM2(**)
dengan bayangan satu kilo beras
dengan rumus memabukkan
E=BBM2(**)
orang bodoh tak bisa pecahkan
orang bodoh terpaksa mabuk
orang bodoh terlalu sering mabuk
Einstein
tolong jangan dipaksa mabuk
orang bodoh yang terlalu sering mabuk
Baca:
(*) Kuadrat
(**) Pangkat Dua
Label: Antologi Puisi
Diposting oleh muhammadazhari di 12.51 0 komentar

